Economic development performance of Indonesia had regarded mainstream that it was interesting topic before presidential ellection in 2009. Liberalism and pro the poor are words that appeared strongly at that time. Indeed, it had become a controversy of related topic which was suitable for developing Indonesian’s economy. They have advantages and also disadvantages. Morever, Indonesia has special characteristics.
Indonesia yang diproklamasikan pada 1945, telah berusia 64 tahun pada 2009 ini. Sepanjang usia tersebut telah terjadi beberapa kali pergantian kepala negara (presiden). Tokoh-tokoh yang pernah menjadi kepala negara adalah Soekarno (1946-1965), Soeharto (1965-1997), BJ. Habibie (1998-1999), KH. Abdurrahman Wahid (1999-2001), dan Megawati Soekarno Putri (2001-2004). Keseluruhan kepala negara tersebut dipilih secara tidak langsung oleh rakyat.
Memasuki tahun 2005 dan merupakan pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hasil pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dengan wakil presiden M Jusuf Kalla (JK). Pemerintahan SBY- JK berlangsung sejak 2005 dan akan berakhir pada 2009.
Memasuki tahun 2005 dan merupakan pertama kalinya dalam sejarah politik Indonesia presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hasil pemilihan secara langsung oleh rakyat tersebut menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden dengan wakil presiden M Jusuf Kalla (JK). Pemerintahan SBY- JK berlangsung sejak 2005 dan akan berakhir pada 2009.
Dalam sejarah perjalanan pembangunan Indonesia, khususnya bidang ekonomi sejak masa kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Pembangunan Ekonomi Indonesia tersebut dapat dibagi kedalam beberapa fase, yakni Orde Lama (masa pemerintahan Presiden Soekarno pada 1946-1965), Orde Baru (Masa Pemerintahan Presiden Soeharto pada 1965-1997) dan Masa reformasi (mulai 1997). Masing-masing fase dalam pembangunan ekonomi tersebut jika dilihat dari beberapa indikator penting seperti tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto (PDB) dan haluan yang digunakan menarik untuk dicermati.
Pada masa-masa awal setelah Indonesia merdeka, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, bahkan dikatakan mengalami stagflasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Tambunan (2001), bahwa pada masa awal setelah Indonesia merdeka, defisit neraca pembayaran dan keuangan pemerintah sangat besar, inflasi mencapai 500%. Pada periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial. Produk Domestik Bruto lebih didominasi oleh sektor pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersial.
Sekitar tahun 1957-1958 dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan merupakan awal dari periode ekonomi terpimpin (guided economy). Setelah sistem ekonomi terpimpin dicanangkan, sistem ekonomi Indonesia lebih dekat ke pemikiran sosialis komunis, sekalipun ideologi Indonesia adalah Pancasila. Sebenarnya, pemerintah secara khusus masyarakat Indonesia memilih haluan politik yang berbau komunis hanya merupakan refleksi anti kolonialis, anti imperialis dan anti kapitalis. Pada saat itu prinsip-prinsip individualisme, persaingan bebas dan perusahaan pribadi swasta sangat ditentang karena sering dikaitkan dengan kapitalis. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapatkan dana dari negara-negara Barat dalam bentuk pinjaman maupun Penanaman Modal Asing (PMA).
Memasuki pemerintahan Orde Baru yakni pada Maret 1966, perhatian pemerintah tertuju pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial. Pada masa Orde Baru, pemerintah mulai menjalin kembali hubungan dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh idiologi komunis. Indonesia kembali menjadi anggota Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dan Bank Dunia serta International Monetery Fund (IMF). Sasaran pembanguan ditujukan untuk menekan inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, ekspor. Hingga tahun 1981, pertumbuhan PDB nampak mengalami kenaikan yang cukup berarti.
Kinerja pembangunan ekonomi sejak Orde Baru hingga pemerintahan SBY-JK dilihat dari beberapa indikator ekonomi yang dapat dicatat menunjukkan hasil yang bervariasi. Dilihat dari Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 1960-1966 sekitar 1,90 dan menjadi 82,5 pada tahun 83-an (Tambunan, 2001). Sementara pada 1995 sebesar 8,2 dan pada tahun 1996 hingga 2000 pertumbuhan PDB mengalami penurunan dari 7,82 hingga tinggal 4,77 saja. Saat krisis ekonomi terjadi pada 1998, PDB sempat mengalami pertumbuhan negatif sebesar -13,20.
Angka kemiskinan pada tahun 1981 sekitar 31,3 juta jiwa (26,5%) di pedesaan, sementara di perkotaan sebanyak 9,3 juta jiwa (28,1%). Kurang dari sepuluh tahun kemudian yakni tahun 1990 kemiskinan di pedesaan mengalami penurunan yang signifikan mencapai 17,8 juta jiwa atau sekitar (14,3%) dan di perkotaan justru mengalami kenaikan mencapai 9,4 Juta jiwa walaupun secara persentase mengalami penurunan sekitar 11,3% menjadi 16,8%.
Terpaan krisis ekonomi tahun 1998 berdampak pada angka kemiskinan mengalami kenaikan yang begitu tajam. Di pedesaan jumlah penduduk miskin sebesar 31,9 juta jiwa atau 25,7%, sementara diperkotaan jumlah penduduk miskin sebanyak 17,6 juta jiwa atau sekitar 21,9%. Walaupun tahun berikutnya yakni ada 1999 angka kemiskinan berhasil diturunkan menjadi tinggal 25,1 juta jiwa (20,2%) di pedesaan dan 12,4 juta jiwa (15,1%) di perkotaan. Pada tahun 2004 tingkat kemiskinan sebesar 16,5%, pada 2006 tingkat kemiskinan sebesar 17,6%, tahun 2007 (16,6%) dan pada 2008 (15,4%).
Tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004 sebesar 5,1 % dan pada 2005-2007 rata-rata sekitar 7% lebih tinggi jika dibandingkan era reformasi 1990-1997 sekitar 5%. Era Orde Baru dari 1966-1997 mampu mencapai pertumbuhan ekonomi terttinggi tahun 1980 yakni sebesar 9,9%,. Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie (1998-1999) dan pada masa Presiden Abdurahman Wahid (1999-2001), pertumbuhan ekonomi berubah dari negatif menjadi positif sebesar 12,3% (yoy), sekalipun fungsi perencanaan dan pelaksanaan APBN tidak sepenuhnya dilakukan (Azis, 2008). Sementara pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004), mampu menjaga pertumbuhan ekonomi secara stabil dan menunjukkan peningkatan terus menerus tiap tahunnya.
Pengangguran terbuka menjadi persoalan penting bagi negara-negara berkembang termasusk Indonesia, siapapun yang menjadi kepala negara. Dalam sepuluh tahun terakhir jumlah pengangguran terbuka sebanyak 6,03 juta jiwa pada tahun 1999. Pada tahun 2004 jumlah penganguran mengalami peningkatan hingga mencapai 10.83 juta jiwa (BPS,2006). Awal 2009 jumlah pengangguran terbuka mencapai 9,26 juta atau sekitar 8,14% (www.kompas.com) dan mengalami penurunan dibanding tahun 2008, sebesar 8,46%.
Indikator kinerja ekonomi yang dipaparkan di atas merupakan sekelumit fakta yang hanya melihat dari salah satu sisi internal saja dan berdasarkan fase pemerintahan yang berkuasa. Tanpa bermaksud mengesampingkan perlunya melihat dari sisi eksternal, paparan di atas memunculkan pertanyaan besar seberapa jauhkah pemerintahan telah mampu membangung bidang ekonomi yang menciptakan kesejahteraan masyarakat. Terlebih jika dikaitkan dengan fenomena terkini berkaitan dengan perdebatan mainstream ekonomi yang menyeruak menjelang pilpres 2009.
Sejarah membuktikan bahwa pilihan salah satu faham ekonomi tidak selalu mampu mengatasi persoalan ekonomi negara. Keberhasilan kaum liberal mengatasi krisis Amerika pada tahun 1930-an seolah menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang diserahkan mekanisme pasar adalah obat yang ampuh. Terlebih jika dikaitkan dengan runtuhnya Uni Soviet yang nota bena merupakan bukti kegagalan sistem sosialis. Namun pada tahun 2008 Amerika juga diterpa krisis keuangan (Prasetyantoko, 2008) sebagai dampak dari liberalisasi.
Namun, jika sedikit menengok keberhasilan negara-negara The Asian Miracle yakni Korea Selatan, Hongkong, Singapura, dan Taiwan menujukkan hal yang berlainan. Sekalipun sandaran pada salah satu maisntream, bahkan Hongkong benar-benar menyandarkan pada prinsip laisees faire namun campur tangan pemerintah juga kuat (Winarno, 2009).
Dari uraian sedikit menganai beberapa indikator dan bukti empiris pembagunan ekonmi di atas, pertanyaan besar yang muncul adalah pada polar tata ekonomi manakah pembangunan Indonesia perlu didekati?
Polar Tata Ekonomi
Terminologi sistem ekonomi pasar (liberalis) menjadi isu yang mengemuka menjelang pilpres 2009. Menyeruaknya termonologi paham ekonomi tersebut dimotivasi oleh upaya pasangan capres memenangkan pilpres dengan jalan mengkritisi pemerintahan yang telah dan sedang berjalan seolah kurang mampu mengatasi pesoalan ekonomi negara. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi persoalan ekonomi negera disinyalir karena pilihan mainstream ekonomi yang kurang tepat dengan karakteristik bangsa dan jati diri bangsa Indonesia.
Diskusi mengenai sistem tata ekonomi yang sesuai bagi negara Indonesia sebenarnya sudah terlalu banyak dilakukan. Berbagai seminar kajian yang membahas ekonomi yang sesuai dengan negara Indonesia terkesan hanya mampu menghasilkan konsep pada tataran yang belum membumi Indonesia. Munculnya sistem ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan adalah wujud pimikiran dalam upaya mencari tata ekonomi bagi Indonesia, namun secara praktis aplikasinya masih belum seperti apa yang diharapkan.
Mencari tata ekonomi bagi bangsa dan negara Indonesia bukan persoalan yang gampang karena secara teoritis pembangunan ekonomi negara ditentukan lebh dari satu faktor. Kondisi fisik, letak geografis, jumlah dan kualitas Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki, kondisi awal, sistem politik yang berkembang serta mainstream pemerintah yang berkuasa adalah faktor-faktor internal yang dapat memengaruhi dinamika pembangunan ekonomi suatu negara. Sementara faktor perekonomian dan politik dunia, perkembangan teknologi merupakan faktor eksternal yang juga berkontribusi terhadap dinamika pembangunan ekonomi negara. Sehingga pembangunan ekonomi negara tidak hanya bisa hanya didepakati dengan memilih paham ekonomi mana yang akan dipakai.
Salah satu paham yang dianggap oleh kelompok tertentu mampu memecahkan persoalan ekonomi negara adalah faham yang menyerahkan mekanisme ekonomi pada pasar, dan lebih dikenal dengan faham (ekonomi) liberal. Faham liberal lahir dan dipandang ampuh bukan tanpa sejarah. Ketika terjadi krisis di Amerika Serikat pada tahun 1930-an, liberal hadir sebagai obat mujarabnya. Kemujaraban paham itu dalam mengatasi krisis yang terjadi di AS merupakan testimoni yang bagus bagi negara-negara lain dan seolah obat tersebut juga akan mampu menyembuhkan penyakit ekonomi yang diderita oleh negara yang berbeda.
Kelompok penganut sistem pasar berpandangan bahwa sistem perekonomian mirip dengan hukum alam. Hukum alam akan berlaku dimana saja dan dalam situasi apapun. Mereka berpikir bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur tangan. Alam akan mengatur dan semua pihak akan merasa senang. Pandangan ini menjadi cikal bakal doktrin laissez faire-laissez passer, let do let pass yang dikembangkan oleh Adam Smith. Tanpa adanya campur tangan pemerintah, maka semua tindakan manusia akan berjalan harmonis, otomatis dan bersifat self regulating.
Menurutnya, pengendalian kepada manusia melalui kekuatan impersonal pasar, merupakan jalan menuju berkembangnya peradaban. Melalui jalan tersebut maka semua orang bisa ikut andil, berpartisipasi dalam membangun sesuatu negara. Kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi sesedikit mungkin. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah.
Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi dan pengetahuan individu. Individu-individu akan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat dipakai sebagai alat untuk memecahkan masalah sosial. Pemerintah tidak perlu ikut campur tangan, dan alam akan mengatur semua pihak akan senang dan bahagia. Pandangan ini menjadi cikal bakal doktrin laissez faire-laissez passer yang dikembangkan oleh Adam Smith. Mereka berpandangan bahwa tanpa adanya intervensi pemerintah, maka semua tindakan manusia akan berjalan harmonis, otomatis dan bersifat self regulating.
John Stuart Mill yang hidup pada 1806–1873, salah seorang ekonom yang hidup pada masa keemasan pemikiran ekonomi aliran klasik, menentang paham ilmu yang sangat bersandar pada paham "laissez faire", yang mana semua diarahkan pada "mekanisme pasar", tidak memerlukan adanya campur tangan pemerintah. Kekuatan pasar yang akan mengatur proses akumulasi, distribusi dan alokasi sumber daya kepada masyarakat. Bahkan pasar pula yang akan menentukan harga sebagai indikator proses tawar menawar yang wajar. Mill memandang bahwa tidak seharusnya secara penuh perekonomian diserahkan kepada pasar dan tidak terlalu kaku dengan campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Campur tangan pemerintah dalam bentuk peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang dapat membawa kearah peningkatan efisiensi dan penciptaan iklim yang lebih baik, tetap diperlukan (Tjiptoherijanto, 2007).
Terlebih jika dikaji secara teori, peranan pemerintah dalam ekonomi pasar tidak dapat dipungkiri. Secara teoritis bahwa assumsi pasar yang sempurna (perfect market) dimana terdapat banyak pelaku ekonomi, informasi tersedia secara cuma-cuma dan invisible hand-nya Adam Smith melakukan perannya, hanyalah merupakan suatu model berfikir untuk mempermudah menjelaskan tentang bekerjanya hukum-hukum ekonomi. Kondisi di pasar yang mana hanya ada penjual dan pembeli tidak ada piha lain (pemerintah) maka akan terjadi efisiensi dengan sendirinya adalah kondisi yang sangat ideal.
Lebih jauh, sistem yang sempurna tidak akan tercapai karena antara lain adanya externality, barang publik. Oleh karenanya peranan pemerintah diperlukan baik untuk memproduksi barang publik dan jasa publik, dan juga untuk mencapai solusi alternatif (second best solution) (Usman, 1997). Jabaran lebih jauh ide tentang ekonomi pasar yang terkelola, dalam arti akan diperoleh harga yang cocok (getting pricess right) dan institusi yang cocok (getting institutions right) yang secara normatif diharapkan sedemikian rupa akan dapat dicapai yakni pemerataan hasil-hasil pembangunan yang wajar (fair), pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta stabilitas ekonomi yang mantap. Peran pemerintah diharapkan datang pada saat diperlukan dan tidak datang pada saat tidak diperlukan, Kalau seperti ini yang terjadi berarti penerintah memerankan perannya secara tepat. Demikian sebaliknya jika pemerintah datang pada saat tidak diperlukan dan tidak datang pada saat diperlukan, maka telah terjadi pemborosan sumber daya ekonomi.
Contoh yang cukup menarik betapa peran negara dalam pembangunan ekonomi sangat berarti adalah kasus di negara-negara Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Keempat negara tersebut oleh Bank dunia disebut sebagai the asian miracle karena tingkat pertumbuhana sangat fantastis (Winarno, 2009). Keberhasilan pembangunan ekonomi di empat negara tersebut karena betapa kuatnya intervensi peran pemerintah. Sekalipun diklaim bahwa keberhasilan ekonomi negera tersebut karena bekerjanya mekanisme pasar secara efisien, pengalaman negara tersebut tidak mencerminkan dipilihnya liberal sebagai tata ekonomi negara.
Problem Pemerintah
Perdebatan mengenai pemilihan tata kelola ekonomi yang sesuai bagi suatu negara, perlu campur tangan pemerintah atau diserahkan kepada mekanisme pasar seyogyanya melihat kapasitas pemerintahan itu sendiri. Pemerintah di negara manapun tidak akan sempurna dan memiliki kapasistas yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Pemerintah memiliki fungsi dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Fungsi pokok ekonomi pemerintah menurut pandangan ekonom (public) ada tiga. Pertama, fungsi alokasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan penyediaan dan pelayanan barang-barang publik yang peruntukannya secara komunal dan tidak dapat dimiliki secara perorangan. Kewenangan ekonomi yang paling utama dan memperoleh porsi yang besar bagi pemerintah adalah fungsi alokasi. Hal ini karena sangat terkait erat dengan barang-barang publik yang nilainya sangat besar. Menurut Stiglitz, 1986 (dalam Syahrir, 1986 ), disebutkan bahwa ada dua elemen yang selalu ada pada setiap barang publik, yakni: (1) tidak dimungkinkannya menjatah barang-barang publik bagi setiap individu (orang-perorang) dan (2) sangat sulit untuk menjatah dan membagi-bagikan barang publik. Sedangkan menurut King (1984), barang-barang publik dibatasi oleh dua sifat yaitu: (1) konsumsinya tidak dapat dibagi-bagi (2) tidak dapat dibagi-bagikan kepada orang-perorang.
Berangkat dari diperlukanya barang-barang publik di masyarakat melandasi perlu adanya intervensi pemerintah dalam pengalokasian sumber daya. Hal-hal ang melandasi perlu intervensi dan peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi antara lain;
- Ekonomi kompetitif yang sempurna dengan asumsi-asumsi tertentu akan menjamin alokasi sumberdaya secara optimal. Namun, bila yang terjadi berbeda dengan asumsi, maka pemerintah perlu turut campur tangan dalam pengalokasian sumberdaya.
- Dalam hal produksi atau konsumsi sesuatu barang atau jasa akan menimbulkan biaya atau memberikan keuntungan eksternal terhadap produsen atau konsumen lain. Pada kondisi demikian ini pemerintah perlu turut campur tangan dengan mengatur pajak dan subsidi terhadap barang-barang tersebut.
- Ada kalanya pemerintah mendorong konsumsi barang-barang yang dikonsumsi dalam jumlah banyak melalui penyediaan dengan subsidi, harga nol atau dengan memberikan perangsang kepada pihak swasta untuk penyediaannya. Sebaliknya pemerintah juga cenderung menghambat konsumsi barang-barang yang dikonsumsi dalam jumlah sedikit melalui kebijaksanaan pajak.
Kedua, fungsi distribusi memiliki keterkaitan erat dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam arti proporsional tetap menjadi perhatian dalam rangka mendorong tercapainya pertumbuhan yang optimal. Fungsi distribusi dalam fungsi ekonomi pemerintah adalah sangat terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah dan terdistribusi secara proposial. Daerah yang satu tingkat kesejahteraannya tidak sama dengan daerah yang lainnya karena sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan kemampuan daerahnya masing-masing.
Kewenangan dan dukungan terhadap peran pemerintah daerah dalam fungsi distribusi ini tidak sebesar kewenangan dan dukungan dalam fungsi alokasi (Syahrir, 1984). Kecilnya kewenangan dan dukungan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat dalam fungsi distribusi ini didasarkan pada asumsi bahwa bila pelimpahan kewenangan dan dukungan pemerintah pusat cukup besar maka dikhawatirkan akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan distribusi pendapatan. Di beberapa daerah cenderung kurang inovatif untuk mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki atau yang tersedia di daerahnya.
Disisi lain bahwa kebijakan retribusi tunggal yang seragam didasarkan pada rasa kekhawatiran bahwa bila diberlakukan kebijaksanaan yang tak seragam dan desentralisasi akan menyebabkan berpindahnya sebagian penduduk daerah tersebut kedaerah lain yang menjanjikan penghasilan yang lebih besar dibandingkan didaerah asal, hal ini dianggap akan membuka peluang timbulnya masalah baru yang berkaitan dengan migrasi penduduk.
Ketiga, fungsi stabilisasi memiliki keterkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel ekonomi makro dengan sasaran untuk mencapai stabilitas ekonomi secara nasional. Fungsi stabilisasi bertujuan untuk menciptakan stabilitas ekonomi suatu negara. Fungsi stabilisasi ini berkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel ekonomi makro dengan instrumen kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Diantara ketiga fungsi ekonomi pemerintah, fungsi stabilisasi ini merupakan yang paling kecil kewenangan dan dukungannya terhadap peran pemerintah daerah. Bahkan pemerintah daerah hampir tak mendapatkan bagian untuk berperan dalam fungsi stabilisasi ini. Hal ini didasarkan oleh pemikiran bahwa fungsi stabilisasi berbeda antar satu daerah dengan daerah lain dalam suatu negara.
Disamping itu kecilnya kewenangan dan dukungan peran pemerintah daerah dalam fungsi stabilisasi, disebabkan akan adanya efek sampingan yang timbul akibat penggunaan instrumen yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal untuk mengontrol variabel ekonomi makro dan efek langsung dari penggunaan instrumen tersebut.
Terkait dengan pilihan tata kelola ekonomi dan problem yang dihadapi negara sebagaimana dikemukakan pada bagian di atas, pemerintah suatu negara dihadapkan pandangan apakah sepenuhnya di kendalikan oleh pemerintah sebagai satu polar dan diserahkan sepenuhnya oleh mekanisme pasar (market mechanism) sebagai polar yang lain. Namun demikian, terdapat pula pemikiran yag tidak kaku dan agak fleksibel, perekonomian perlu diserahkan kepada pasar namun masih membutuhkan intervensi pemerintah.
Kehadiran peran pemerintah dalam ekonomi pasar secara teoritis menimbulkan in-efficiency, yaitu selalu terjadinya "dead weight welfare loss". Pemerintah itu sendiri memiliki keterbatasan untuk membiayai kegiatannya. Teknologi memungkinkan swasta untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang biasanya hanya dikerjakan oleh pemerintah. Beberapa public utilities seperti telepon, listrik dan air minum sangat diminati oleh swasta.
Swasta melalui pasar modal sangat memungkinkan untuk membiayai proyek yang bernilai besar. Masyarakat sebagai akibat basil pembangunan ekonomi pendapatannya menaik dan sanggup membayar harga dan produk-produk dari swasta. Adanya globalisassi memungkinkan mobilitas sumber daya ekonomi melewati batas negara secara mudah, murah dan cepat (borderless, seamless). Adanya kecenderungan bahwa dunia menuju kepada integrasi di segala sektor (Winarno, 2009). Di sektor keuangan misalnya dalam waktu yang singkat banyak bank-bank di dunia akan merger demikian juga dengan bursa efek. Adanya bank-bank raksasa, bursa efek raksasa dan perusahaan-perusahaan raksasa akan membuat peran otoritas perlu disesuaikan lagi.
Sekalipun pemerintah dihadapkan pada berbagai persoalan, namun pasar tidak selamanya bisa memecahkan persoalan tersebut. Hal inilah yang mendorong kehadiran pemerintah melalui intervensi secara tepat. Mengemukanya perlunya peran atau intervensi pemerintah, sebenarnya mendapatkan dukungan dari banyak ekonom. Sebagian besar ekonom berargumen bahwa intervensi pemerintah didasarkan pada bahwa pasar tidak selamanya dapat menyediakan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu negara dan pasar tidak mampu menangani eksternalitas. Misalkan, fasilitas kesehatan, pendidikan, jalan, research and development, yang disebut sebagai barang publik (public goods). Ketidaksempurnaan pasar dalam memecahkan persoalan barang publik, menjadi alasan betapa pemerintah harus bisa memecahkannya.
Jati Diri Bangsa Indonesia
Karakter bangsa didefinisikan sebagai kekhasan dan keunikan yang menjadi pembeda antara bangsa yang satu dengan yang lainnya dan karakter tersebut memiliki peran penting dalam menentukan kekuatan dan kemampuan bangsa untuk mencapai tujuan pembangunan (Rajasa, 2009). Artinya bahwa membangun negara tidak sekedar mencontoh pendekatan yang digunakan oleh negara lain, karena negara lain memiliki keunikan yang berbeda. Memberdayakan karakter unik sebagai kekuatan menjadi salah satu kunci pembangunan negara.
Indonesia lahir sebagai negara yang berdaulat yang diproklamirkan pada 1945 memiliki sejarah perjuangan yang panjang. Lahir dan berdirinya negara Indonesia bukan merupakan hadiah dari negara atau orang tertentu namun merupakan hasil sebuah perjuangan yang besar. Eksistensi Indonesia dari suatu perjuangan adalah sebuah cermin karakterisik unik, kekhasan yang sebearnya merupakan kekuatan negara. Jika mereka-mereka sebagai bangsa mampu berjuang, mengukir sejarah hingga Indonesia lahir, maka idealnya juga mampu membangun negara. Persoalannya adalah bagaimana membangun dengan karakter dan kekhasan Indonesia?
Negara Indonesia yang berdaulat dalam wilayah tertentu, didirikan dengan semangat, dibangun berdasarkan pada dasar negara dan undang-undang serta hukum tertentu. Jika dasar negara telah disusun maka idealnya pembangunan menggunakan landasan tersebut, yakni Pancasila dan bahkan hingga kini tidak (perlu) diubah. Tidak saja Pancasila, peristiwa Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi (1945), dan berbagai peristiwa lain yang penting idealnya menjadi sejarah yang menunjukkan karakter dan jati diri bangsa Indonesia.
Lebih lanjut, Pembukaan UUD 45 memberi amanat kepada pemerintahan negara. Dalam pembukaan tersebut paling tidak ada empat kalimat kunci sebagai amanah pemerintahan yakni; terbentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemedekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tak terkecuali seperti yang ada dalam ketetapan (Tap) MPR. Pada Tap MPR RI no. IV/MPR/1999 tentang misi dalam rangka mencapai visi bangsa Indonesia, pada poin ke 7 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Kemudian pada UUD 45 Bab XIV tentang kesejahteraan sosial, pasal 33 disebutkan juga disebutkan; (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pada amandemen pasal 33 UUD 45 disebutkan; (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan (4) perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas asas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sementara pada pasal 34 ayat 3 disebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Selain itu, pada penjelasan UUD Bab XIV tentang kesejahteraan dijelaskan ”Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang”.
Berangkat dari pasal-pasal tersebut, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang-seorang yang berkuasa dan merakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan secara lebih ringkas bahwa ekonomi Indonesia disusun bukan pada polar tertentu. Namun, perekonomian disusun dengan memadukan berbagai ciri dari tata ekonomi yang berada pada garis sepanjang polar tata ekonomi, dengan memberikan penguatan berbasis pada karakteristik sebagai kekhasan bangsa Indonesia. Mungkin lebih bijaksana lagi jika merenungkan apa yang dipikirkan oleh Schumpeter (Prasetyatoko, 2008), bahwa pembangunan merupakan proses yang komplek melibatkan banyak elemen di masyarakat. Pembangunan idealnya berada pada konteks historis tertentu.
Penutup
Dalam membangun ekonomi bangsa, pemerintah yang berkuasa dihadapkan pada pilihan apakah diserahkan pada mekanisme pasar sebagai trend model ekonomi terkini atau di kendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Kedua pilihan tata eknomi tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Terlebih jika dilihat pengalaman empiris dan preseden dari negara-negara lain. Bahwa diserahkannya pada pasar dalam tata ekonomi tidak menjamin kemajuan ekonomi suatu negara. Demikian sebaliknya jika dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah pengamalan empiris negara lain juga tidak menunjukkan keberhasilan.
Indonesia sebagai negara, lahir bukan tanpa misi dan visi serta tujuan. Pencapaian tujuan negara sebagai mana diamanatkan dalam undang-undang khususnya kemakmuran, keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya dalam setting percaturan dunia idealnya menjadi acuan untuk mengelola pemerintahan negara. Apakah akan memilih menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar atau dikendalikan oleh pemerintah sentuhan idealisme dalam karakteristik Indonesia perlu dipikirkan kembali.
Barangkali jalan tengah yang paling baik adalah mencari titik tengah diantara dua polar mainstrem ekonomi yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Jati diri bangsa Indonesia tidak saja dilihat dari karakteristik unik sebagai kekuatan namun juga melihat sisi lemah dalam kaitan percaturan dunia. Selain itu dasar negara sebagai landasan, Undang-undang dan peraturan dibawahnya sebagai pijakan pemerintah dalam mengendalikan pembangunan adalah sebuah idealisme yang bijak. Sehingga pembangunan bukan kehendak atau kemauan orang per orang, atau golongan tertentu.
Daftar Pustaka
Azis H. A. “Kinerja Pemerintahan SBY-JK di Bidang Perekonomian”. Dalam http://www.setneg.go.id diakses 30 Juni 2009 jam 08:14 WIB.
Basri, F. Perekonomian Indonesia Tantangan dan Harapan bagi Keangkatan Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2002.
Bator F, M. “The Anatomy of Market Failure”. The Quarterly Journal of Economics. Vol. 72/No. 3 1958.
Colander, D. C. Macroeconomics (3rd edition). Irwin: McGraw-Hill. 1998.
Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press. 2005.
Hadi, S. Jaslim R. S., Edi J., Arianti V., dan Damayanti D., Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Granit. 2004.
Hamid, E. S. “CGI, IMF dan Sistem Ekonomi Pancasila”. Jurnal Ekonomi Rakyat Th II No. 04 Juli 2003.
Johnson, N. Mixed Economies of Welfare. Eorupe: Prentice Hall. 1999.
Katona, G. Psychological Analysis of Economic Behavior. New York: McGraw Hill. 1951.
Karl, E. C. and Ray C. F. Principles Of Economics, Prentice Hall International Inc. 2002.
Koncoro, M. “Dr Hal Hill dan Ekonomi Indonesia”, Republika Rabu 2 Oktober 1996.
Prasteyantoko, A. Bencana Finansial Stabilitas Sebagai Barang Publik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2008.
Rajasa, Hatta., 2009, Karakter Bangsa Sebagai Modal Sosial Untuk Menghadapi Tantangan Pembangunan Global, www.setneg.go.id
Saparini, H., 2007, Kinerja Ekonomi 2007 Kebijakan Lepas Tangan Mendominasi, Suara Karya Edisi Kamis 27 Desember 2007.
Suryadarma , D., Suryahadi A., Sumarto S. “Reducing Unemployment in Indonesia: Results from a Growth-Employment Elasticity Model”, Smeru Working Paper. www.smeru.or.id. 2007.
Tambunan, T.H. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2001.
Yustika, Ahmad Erani. Perekonomian Indonesia Deskripsi, Preskripsi & Kebijakan. Malang: Bayumedia, 2005.
King, D. N. Fiscal Tiers: The Economics of Multilevel Government. London: George Allen & Unwin. 1984.
Sjahrir, “Pelayanan dan Jasa-jasa Publik : Telaah Ekonomi serta Implikasi Sosial Politik”. Prisma, no. 12/1986.
Syam, M. N. Filsafat Ilmu. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. 2006.
Usman, Marzuki. Meninjau Peran Pemerintah dalam Ekonomi Pasar (tanpa Penerbit). 1997.
Winarno, B. Pertarungan Negara vs Pasar. Yogyakarta: Media Pressindo. 2009.
World Bank. “Indonesia: Economic and Social Up date”. Aprill 2007.
__________. “Indonesia: Economic and Social Up date, Aprill 2008.